Kamis, Agustus 09, 2007

Budaya dalam Perencanaan Kota

Mendengar kata budaya, tentu kita akan teringat pada pakaian adat, rumah adat, tarian adat, serta berbagai atribut lainnya yang menjadi ciri khas suatu daerah. Dalam konteks global, budaya merupakan suatu ciri khas serta daya tarik tersendiri yang membedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dengan budaya, suatu bangsa bisa mendongakkan dagu (baca: bangga) ataupun minder terhadap statusnya di mata bangsa yang lain. Kedisiplinan orang Jepang membuat mereka disegani di negara manapun mereka berada walaupun tidak semua individunya memiliki tabiat tepat waktu. Sama halnya dengan orang Perancis yang pintar memasak, orang China yang punya daya adaptasi tinggi di negara manapun, dan lain sebagainya. Sangat ironis dengan pandangan dunia terhadap negara kita tercinta ini. Tentu kita tidak ingin tradisi "jam karet", "mark-up" segala barang, dkk. menjadi suatu kebudayaan di mata dunia. Kita tentu ingin keramahan serta keterbukaan kita yang lebih mereka tangkap dari sesosok pribadi Indonesia.
Adapun Kali ini, saya mencoba membahas budaya yang terdapat di perkotaan karena aspek ini berperan penting dalam membentuk jati diri suatu kota yang dapat menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri melalui aspek fisik berupa bangunan-bangunan yang ada didalamnya. Dengan ditonjolkannya aspek budaya tersebut, diharapkan suatu kota menjadi lebih dikenang dan memberikan daya magnet bagi pengunjung hanya dari secuil informasi yang didapatnya. Kita tentu teringat akan kemasyhuran kota Roma dengan bangunan-bangunannya yang menonjolkan kebudayaannya yang luar biasa, sampai-sampai menjadi pepatah yang terkenal hingga sekarang.
Seperti kita ketahui, kota merupakan sentral dari kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dalam segala bidang, baik makro maupun mikro. Didalamnya terkandung perpaduan heterogen dari berbagai etnis, ras, strata sosial, serta status pendidikan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, pembauran budaya yang ada didalamnya menyebabkan suatu kota mulai kehilangan jati dirinya. Sebagai contoh misalnya kota Jakarta yang saya umpamakan sebagai Indonesia Mini karena seluruh etnis dari Sabang sampai Merauke tumpah ruah di bumi ibu kota ini. Budaya Betawi sebagai budaya asli kota ini mulai hilang dari peredaran seiring berjalanannya waktu.
Dewasa ini, perencanaan yang dilakukan pada kota-kota besar bertujuan pada peningkatan daya saing kota dalam menghadapi era globalisasi. Oleh karenanya, pembangunan yang dapat mendukung sarana dan prasarana bagi masyarakat dengan menerapkan konsep pembangunan yang bersifat modernisasi dengan sektor ekonomi yang menyokongnya mutlak diperlukan. Hal ini bagaikan sekeping uang logam. Di satu sisi sektor ekonomi semakin meningkat dengan pesat, sebaliknya di sektor kemasyarakatan semakin tergerus oleh budaya luar yang bagaikan survival fight dan menghilangkan jati diri masyarakat Indonesia yang sebenarnya.
Saya melihat bahwa perencanaan yang bermuara pada pembangunan di kota-kota besar yang dilakukan pemerintah saat ini sebagian besar cenderung berorientasi pada profit (pendapatan) bagi kas pemerintah daerah dengan memihak pada konsep pembangunan yang diajukan oleh para kapitalis (pemilik modal). Contoh konkrit yang kita temui saat ini yakni banyaknya pendirian mal-mal serta pusat perbelanjaan yang tentu memberikan pemasukan ekstra bagi kas pemerintah melalui pajaknya. Ironisnya, hanya kaum minoritas perkotaan (baca: yang 'punya uang') yang memanfaatkan fasilitas ini. Masyarakat kebanyakan yang hidup berkecukupan tentu menolak untuk melakukan aktivitas jual beli disana karena kantong mereka tidak cukup tebal. Mereka lebih memilih melakukannya di pasar-pasar tradisional yang harganya pasti jauh lebih miring.
Tidak dapat kita pungkiri maraknya pembangunan yang berorientasi pada penggemukan kas pemerintah ini menyebabkan tergerusnya aspek budaya yang ada di perkotaan. Pasar tradisional yang secara tidak langsung memberikan ciri masyarakat Indonesia yang sederhana dan terbuka perlahan-lahan mulai hilang dari peredaran. Kota-kota di Indonesia yang umumnya bercirikan adanya Masjid Agung dilengkapi dengan lapangan terbuka serta alun-alun untuk upacara peringatan, serta memiliki pendopo yang menjadi sarana penyampaian aspirasi masyarakat sudah tidak lagi menjadi konsep utama dalam perencanaan suatu kota.
Adapun tantangan besar yang dihadapi dalam membudayakan kota ini yakni pola pemikiran masyarakat yang menganggap jaman sekarang sudah modern sehingga sarana-sarana perkotaan yang dibangun haruslah bernuansa barat yang dijadikan cermin utama pembangunan modern. Oleh karenanya pemikiran-pemikiran seperti ini haruslah difiltrasi terlebih dahulu karena budaya masyarakat Indonesia yang lebih menonjolkan kesederhanaan. Dan hal tersebutlah yang menjadikan kota-kota di Indonesia unik dan menjadi tujuan dari para pelancong luar negeri.
Hilangnya aspek budaya ini secara tidak langsung menjadikan kota-kota di negara kita mulai kehilangan jati dirinya. Hanya kota besar seperti Yogyakarta yang masih mempertahankan kebudayaannya dan itu pun dikarenakan warisan keningratannya. Memang tidak dapat dipungkiri perencanaan yang bermuara pada pembangunan kota modern menuju era globalisasi mutlak diperlukan, tetapi seharusnya tetap memperlihatkan serta menonjolkanke-Indonesiaan kita yang merupakan jati diri serta kebanggaan kita di mata dunia.